FIQH MUAMALAH 2
JI’ALAH

OLEH
DINA RAHMAINI SYAM 1513060046
GANTI PUTRA WARDANA 1513060040
RONDAH MISKIAH TANJUNG 1513060059
DOSEN PENGAMPU
Dr. Rozalinda, M.Ag
JURUSAN EKONOMI ISLAM.D (EKONOMI
PEMBANGUNAN)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM
BONJOL PADANG
1438 H/2017 M
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam
tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita harapkan
syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah 2 .makalah ini berjudul “Jialah”,
yang membahas tentang pengertian dan dasar hukum ji’alah, rukun dan syarat
ji’alah, perbedaan ji’alah dengan ijarah, sifat ji’alah, berakhirnya aad
ji’alah dan ji’alah dalam perbankan syariah.
Kami menyadari bahwa
makalah ini belum sempurna,baik dalam hal penulisan maupun pokok bahasan yang
kami jelaskan. Berkaitan dengan hal tersebut kami selaku penulis sangat
mengharapkan saran, agar kedepannya kami bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan
kami yang lalu.
Padang, Oktober 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Islam
sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi
tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan
umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan
peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi.
Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya
terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua
potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan
potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi
dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan yang satu dengan yang
lainnya. Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk
tolong-menolong dengan sesamanya.
Akad ji’alah
identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti
dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat
hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan
kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada
seseorang untuk dijalankan.
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penilitian ini adalah sebagai berikut.
a.
Apa pengertian
dan dasar hukum ji’alah?
b.
Apa saja rukun
dan syarat ji’alah?
c.
Apa saja
perbedaan antara ji’alah dan ijarah?
d.
Bagaimana sifat
akad ji’alah?
e.
Bagaimana
berakhirnya akad ji’alah?
f.
Bagaimana
aplikasi ji’alah dalamperbankan syariah?
C.
TUJUAN
PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai
tujuan sebagai berikut.
a.
Menjelaskan apa
yang dimaksud dengan ji’alah beserta dasar hukum yang menjelaskan terjadinya
ji’alah.
b.
Menguraikan
rukun dan syarat dari jialah.
c.
Menguraikan
perbedaan antara ji’alah dengan ijarah.
d.
Menjelaskan
sifat dari ji’alah.
e.
Menjelaskan
berakhirnya akaad ji’alah.
f.
Menjelaskan
pengaplikasian ji’alah dalam perbankan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN
DASAR HUKUM JI’ALAH
Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala – yaj’lu – ja’lan. Secara
harfiah bermakna mengadakan ataumenjadikan, sedangkan ju’alah berarti upah.[1]
Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq ji’alah adalah
sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh.
Istilah ji’alah dalam kehidupan
sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang
dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau
menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah
kompetisi. Jadi, ji’alah bukan hanya terbatas pada barang yang hilangnamun
dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Kata jialah dapat dibaca jaalah.
Pada zaman rasulullah jialah telah dipraktikkan. Dalam shahih Bukhari dan
Muslim terdapat hadis yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat
kala kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor
kambing.[2]
Menurut Mazhab Hanafi ji’aah tidak
diperbolehkan karena di dalam ji’alah ada gharar atau tidak
diketahuinya pekerjaan yang akan dilakukan dan waktu pekerjaannya. Hanya saja
berdasarkan isthsan ji’alah dibolehkan, misalkan menjanjikan upah untuk
mengembalikan budak yang melarikan diri. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan
Hanabilah membolehkan ji’alah berdasarkan QS Yusuf [12: 72]
قَالُوا نَفْقِدُ
صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan
(seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya”.
Masyarakat membutuhkan ji’alah
sebb terkadang pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) tidak jelas bentuk dan
waktu pelaksanaannya, seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang dan
sebagainya. Untuk pekerjaaan ini tidak sah dilakukan akad ijarah padahal
seseorang membutuhkannya agar kedua barang yang hilang bisa kembali. Sementara
itu, ia dapat menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya sacara
sukarela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, adanya kebutuhan masyarakat dalam
keadaan seperti itu mendrong agar akad ji’alah dibolehkan sekalipun
bentuk dan masa pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas.
Dari pengertian ini, dalam
ji’alah terdapat unsur-unsur:
a.
Pekerjaan
khusus, misalnya mencari barang yang hilang, atau menyembuhkan penyakit.
Biasanya pekerjaan yang akan dilakukan merupakan pekerjaan yang sulit bagi
orang-orang yang membuat pengumuman. Hal inilah yang membedakan antara ji’alah
(sayembara) dengan musaqah (perlombaan) atau dengan undian.
b.
Upah terhadap
orang yang berhasil melakukan pekerjaan. Apakah hadiah itu berbentuk materiil
atau imateriil, seperti diangkat menjadi saudara.
Ji’alah dibolehkan
dalam islam berdasarkan QS Yusuf [12: 72]
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ
حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya."
Dalam hadis Nabi
dijelaskan: Dari Ibn Abas, Rasulullah Saw, bersabda: “Sesungguhnya perkara yang
paling berhak mendapatkan upah adalah mengajarkan membaca Al-Qura’an”.
Para ulama sepakat
tentang kebolehan ji’alah, karena memang diperlukan untuk mengembalikan
hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak ada
orang yang bisa membantu secara sukarela. Pekerjaan itu tidak dapat dilakukan
dengan akad ijarah karena tidak jelas batas pekerjaan waktu dan
sebagainya sehingga yang boleh dilakukan dengan memberinya ja’alah
seperti akad sewa dan bagi hasil.[3]
B. RUKUN DAN SYARAT JI’ALAH
Ji’alah merupakan akad antara dua orang atau lebih agar orang yang menerima ji’alah
melakukan pekerjaan khusus seperti menyembuhkan orang yang sakit atau menemukan
barang yang hilang. Ji’alah dibolehkan karena dibutuhkan. Ji’alah menjadi
sah kalau terpenuhi rukun dan syaratnya sebagai berikut:
a. Ja’il (pihak yang berjanji akan memberikan imbalan), harus ahliyah
atau cakap bertindak hukum, yakni baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian
anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah
melakukan ju’alah. Sementara itu, orang yang melakukan pekerjaan jika ia
ditentukan maka ia harus orang yang cakap melakkan pekerjaan tersebut dan
mendengar jiala boleh melakukannya.
b. Ju’lah (upah)
Upah dalam ja’alah
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, upah yang dijanjikan harus berupa sesuatu yang bernilai harta dan dalam
jumlah yang jelas. Jika upah berbentuk barang haram seperti minuman keras maka jialah
tersebut batal.
Kedua, bayaran itu harus diketahui dan harus ada pengetahuan tentangnya, misalnya
“siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang maka dia mendapat
pahala, atau ridha, akad seperti ini tidak sah.
Ketiga, upah yang bleh disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksaan ju’alah).
c. ‘Amal (pekerjaan)
Pekerjaan dalam ja’alah
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas
dan boleh dimanfaatkan menurut syara’. Ji’alah tidak diperolehkan
terhadap pekerjaan dalam bentuk mengeluarkan jin dari diri seseorang atau
membebaskan dari sihir. Karena keluar atau bebas dari sihir tdak dapat
diketahui secara jelas. Oleh karena itu, ji’alah tidak boleh terhadap
sesuatu yang diharamkan.
Kedua, Mazhab Maliki mensyaratkan, ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waku
tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang dalam satu hari.
Ketiga, Mazhab Malikyiah menyatakan baha pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan
yang mudah dilakukan meskipun dilakukan berulang kali seperti mengembalikan
binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
Keempat, pekerjaan yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan yang wajib bagi
pekerja, jika ia wajib secara syar’i maka dia tidak berhak mendapat
upah, misalnya seseorang mengatakan “siapa yang mengembalikan hartaku yang
hilang maka ia mendapat begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang
merampasnya maka orang tersebut tidak berhak mendapat upah yang telah
disebutkan, sebab sesuatu yang wajib dilakukan secara syar’i tidak ada upah
baginya.
d. Shighat (ucapan)
Ucapan ini datang dari
pihak pemberi ji’alah sedangkan dari pihak pekerja tidak disyratkan ada
ucapan kabul darinya dan ji’alah tidak batal seandainya dia menjawab,
misalnya ia berkata: saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya
mendapat bayaran satu dinar. Kemudian, pemberi ja’alah berkata ya maka
itu sudah dianggap cukup. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang
menjanjikan upah walaupun tanpa ucapa kabul dari pihak yang melaksanakan
pekerjaan. Lafaz, diisyaratkan mengandung izin untuk melakukan pekerjaan kepada
setiap orang yang mampu, dan tidak dibatasi waktunya.
Termasuk dalam syarat
ini beberapa gambaran di antara yang paling penting:
1) Jika pemberi ji’alah mengizinkan seseorang lalu yang bekerja orang
lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan sesuatu walaupun dia dikenali
sebagai orang yang memiliki keahlian dengan pekerjaan tersebut.
2) Jika pemberi ji’alah berkata: “siapa yang bisa mengembalikan untaku
atau mobilku, maka dia mendapat satu dinar” lalu dikembalikan oleh orang yang
tidak mendengar panggilan tersebut, dia tidak berhak mendapat ji’alah
sebab dia rela mengmbalikan tanpa ada upah.[4]
C. PERBEDAAN ANTARA JI’ALAH DAN IJARAH
Pada dasarnya ji’alah sama dengan sewa namun
ada perbedaan dalam beberapa aspek antara lain:
a. Pemenuhan manfaat ji’alah tidak dapat disempurnakan oleh jail
kecuali dengan selesainya pekerjaan seperti menemukan barang yan hilang.
Berbeda dengan ijarah, kesemprnaan pemenuhan manfaat bagi musta’jir
berdasarkan pada apa yang dikerjakan oleh ajir.
b. Ji’alah sah walaupun
mengandung ketidakjelasan (gharar) pekerjaannya dan batas waktunya tidak
jelas. Berbeda dengan ijarah, pekerjaan dan batas waktunya harus jelas.
c. Pada ji’alah tidak boleh mensyaratkan upah dibayar di muka,
sedangkan pada akad ijarah hal itu dibolehkan.
d. Ji’alah bersifat ghairu lzim
(tidak mengikat) yang dibatlkan sepihak, sedangkan ijarah bersifat lazim
(mengikat) tidak dapat dibatalkan sepihak.
e. Penerima ji’alah tergantung dengan keberhasilan dalam pekerjaan.
f. Akad ji’alah tetap sah walaupun pekerjaan tidak mau menerima ji’alahnya.[5]
D. SIFAT AKAD JI’ALAH
Ji’alah merupakan suatu akad
yang dibolehkan dan bersifat ghairu lazim (tidak mengikat). Artinya
kedua orang yang berakad boleh membatalkan akad ini sebelum pekerjaan dimulai.
Orang yang menerima ji’alah boleh membatalkan akas sebelum atau ketika
pekerjaan sedang berlangsung. Dengan pembatalan ini semua haknya mendapat upah
menjadi hilang.
Namun, orang yang mnji’alahkan (pelaksanaan
sayembara) tidak punya hak untuk membatalkna ji’alah bila orang ang
menerima ji’alah telah melakukan pekerjaan. Kalau masih dibatalkan maka
orang yang menerima ji’alah masih tetap mempunyai hak mendapatkan upah
dari apa yang dikerjakan. Orang yang membuat ji’alah harus menepati
janjinya berupa memberikan upah kepada orang yang berhasil melakukan pekerjaan
tersebut.[6]
E. BERAKHIRNYA AKAD JI’ALAH
Ulama mahzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang
akad ji’alah sebagai perbuatan yang sifatnya sukarela. Menurut mereka
baik pihk pertama (jail) maupun pihak kedua (yang melaksanakan
pekerjaan) dapat membatalakan akad. Namun mereka berbeda pendapat tentang kapan
bolehnya melakukan pembatalan akad tersebut. Mazhab Maliki berpendapat bahwa ji’alah
hanya dapat dibatlakan oleh pihak pertma sebelum pihak kedua melaksanakan
pekerjaan. Semntara itu, mazhab Syafi”i dan Hanbali berpendapat, pembatalan itu
dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu selama pekerjaan itu belum
selesai. Apabila salah satu pihak membatalkan ji’alah sebelum pekerjaan
dilaksankan, maka keadaan ini tidakmemunculkan keadaan hukum. Artinya, pihak
kedua tidak berhak terhadap upah yang dijanjikan karena pekerjaan yang belum
dilaksanakan.
Apabila pihak pertama membatalkan ji’alah
ketika pekerjaan sedang berlangsung menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, pihak
pertama wajib membayar upah kepada pihak kedua, sesuai dengan volume dan masa
kerja yang telah dilaksanakannya.[7]
F. JI’ALAH DALAM PERBANKAN
SYARIAH
Aplikasinya ialah pada SBIS
(sertifikat Bank Indonesia Syariah). Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ji’alah (Akad ji’alah
adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l)
atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan).[8]
Dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter
berdasarkan prinsip syariah dan mengatasi kelebihan likuiditas bank syariah,
Bank Indonesia menerbitkan instrumen yang sesuai dengan syariah yaitu
Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah). Sebelumnya instrumen
moneter seperti ini adalah Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI). Namun
instrumen ini diandang belum bisa mengakomodasi kebutuhan pelaku industri
perbankan syariah untuk pengelolaan likuiditas dan pengendalian moneter secara optimal.
Penerbitan instrumen moneter berdasarkan akad ju’alah
dipandang lebih dapat mengoptimalkan pengendalian moneter dan pengelolaan
likuiditas perbankan syariah. Sebagai pedoman pelaksanaan penerbitan Sertifikat
Bank Indonesia Syari’ah Ju’alah (SBIS Ju’alah) ini Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa DSN MUI No.
64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS
Ju’alah).
Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il
(pemberi pekerjaan); bank syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima
pekerjaan); dan objek/underlying ju’alah (mahall al-aqdu) adalah
partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian
moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di
Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
a. Bank Indonesia wajib memberikan imbalan (reward/’iwadh/jul’u) yang telah
dijanjikan kepada bank syariah yang telah membantu Bank Indonesia dalam uaya
pengendalian moneter dengan cara menempatkan dan di Bank Indonesia dalam jangka
waktu tertentu, melalui “pembelian” SBIS Ju’alah.
b. Dana Bank Syariah yang ditempatkan di Bank Indonesia melalui SBIS adalah wadi’ah
amanah khusus yang ditempatkan dalam rekening SBIS Ju’alah, yaitu titipan
dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan atau ketetntuan Bank
Indoesia, dan tidak dipergunakan oleh Bank Indonesia selaku penerima titipan,
serta tidak boleh ditarik oleh bank syariah sebelum jatuh tempo.
c. Dalam hal Bank Syariah selaku pihak penitip dan (mudi’) memerlukan
likuiditas sebelum jatuh tempo, ia dapat merepokan SBIS Ju’alahnya dan
Bank Indonesia dapatmengenakan denda (gharamah) dalam jumlah tertentu
sebagai ta’zir.
d. Bank Indonesia berkewajiban mengembalikan dana SBIS Ju’alah kepada pemegangnya
pada saat jatuh tempo.
e. Bank Syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan likuiditasnya pada
SBIS Ju’alah sepanjang belum dapat menyalurkan ke sektor riil/
f. SBIS Ju’alah merupakan instrumen moneter yang tidak dapat diperjualbelikan
(non tradeable) atau dipindahtangankan, dan bukan merupakan bagian dari
portofolio investasi bank syariah.
Ju’alah dapat juga
digunakan dalam perjanjian brokerage. Khusus bagi perbankan, ju’alah
dapat juga digunakan untuk perusahaan penagih utang atau dept collector untuk
menagih piutang bank yang macet.[9]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ji’alah diartikan
sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil
melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang
diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan
berdasarkan landasan hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah
atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu
juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.
B. SARAN
Semoga
dengan adanya makalah ini, bisa membanttu siapapun yang membacanya dan terutama
penuli
[1]
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada,
2016), hlm.149.
[2] Abdul
Rahman Ghaaly dan Ghurfon Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat,
(Jakarta : Prenada Media Group, 2012), hlm.141.
[3] Rozalinda,
op. cit, hlm. 150-152.
[4] Ibid,
hlm.152-155.
[5] Ibid,
hlm.155.
[6] Ibid,
hlm.155-156.
[7] Ibid,
hlm.156.
[8]
Muhibatul Alami, “ji’alah” Aviation Today, diakses dari https://muhibbatulalami96.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tafsir-ahkam-muamalah-jialah.html,
pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.15
[9]
Rozalinda, op. cit, hlm. 156-158.










