Rabu, 08 November 2017

Sebelum Bohong Menjadi Hobi

Ada apa dengan kejujuran? Sebagian orang lebih nyaman bertahan pada kebohongan. Alasannya, supaya tidak memperbesar masalah. Memang ketika berbohong masalah kita bisa terselesaikan tetapi sampai kapan? Hanya menunggu waktu untuk masalah yang lebih besar. Ketika kebenaran terungkap maka semua permasalahan menghujat silih berganti dan akan membuat orang yang berbohong akan bohong lagi dan lagi untuk menutupi kebohongan tersebut.

Kebohongan seperti sudah menjadi hobi bagi mayoritas orang-orang. Kenapa susah untuk jujur? Apa karena malu? Malu untuk menyembunyikan kejelekan dan keburukan. Apa karena takut menyakiti perasaan seseorang? Bahkan ketika kita mengetahui kebenaran, itu lebih menyakitkan. Atau karena tidak ingin dihakimi? Perasaan bersalah melakukan perbuatan yang tidak semestinya, cenderung mendorong seseorang untuk membentengi dirinya dengan kebohongan.

Jujur itu adalah perbuatan yang terpuji, semua orang deal with it. Mengatakan sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, didengar, dilakukan dan dirasakan itulah kejujuran. Berkata jujur dapat menenangkan batin walaupun nantinya timbul konsekwensi yang harus dihadapi, entah itu berbentuk reward atau hukuman. Syukur-syukur kalau mendapat reward, kalau mendapat hukuman bagaimana? Orang yang berkata jujur juga belum tentu mendapatkan apresiasi yang setimpal dari masyarakat.

Saya pernah membaca sebuah artikel berjudul Psikologi Kebohongan, ada beberapa kategori kebohongan. Pertama kategori bohong berdasarkan sumbernya, menilik sumber-sumber yang bisa menimbulkan kebohongan, maka ada tiga kategori yang bisa dibuat. Bohong yang sumbernya pada realitas dunia, bohong yang sumbernya dari keyakinan atau persepsi tanpa realitas riil materi di dunia, bohong yang sumbernya dari cerita bohong. Contohnya, kita dihadapkan pada cerita Neil Amstrong, manusia pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Tetapi apakah ada yang membuktikan benarnya cerita tersebut. Hingga sekarang banyak pro dan kontra dari kalangan ilmuan di dunia.


Kedua, kategori bohong berdasarkan pelaku dan korban kebohongan. Bohong bisa digolongkan dalam dua kategori. Bohong yang dilakukan secara personal dengan korban perseorangan juga maupun publik (publik diartikan terdiri dari banyak personal) dan bohong yang dilakukan institusi publik (gabungan personal-personal dalam institusi) dengan korban personal maupun publik. Banyak kita lihat dari kalangan pimpinan pemerintahan, contohmya saja korupsi. Seseorang yang korupsi akan menutupi hasil korupsinya dengan berbagai cara. Jika ketahuan dia akan melampirkan isu-isu untuk menutupi kelakuannya.

Ketiga, kategori bohong berdasarkan motivasi. Anda tahu bahwa seseorang dianggap berbohong bila memiliki motivasi untuk berbohong. Namun bohong bisa saja terjadi tanpa seseorang menyadari telah berbohong. Hanya bila seseorang memang ingin berbohong maka ia disebut berbohong. Jika tidak, meskipun bohong, bisa saja tidak dianggap berbohong. Berdasarkan hal tersebut, maka bohong bisa dibagi dua yakni bohong dengan motivasi untuk berbohong dan bohong tanpa motivasi berbohong. Kategori ketiga ini sangat banyak dilakukan karena dari hal-hal kecil yang tidak ingin diketahui orang akan menyebabkan kita berbohong.

Keempat, bohong berdasarkan cara penyebarannya. Menilik cara penyebaran kebohongan, maka bohong bisa digolongkan ke dalam tiga golongan, yakni melalui cara penyampaian personal, forum, dan media publik. Penyampaian personal artinya dilakukan antara dua orang. Satu orang berbohong sementara yang lain menjadi korbannya. Termasuk dalam kategori ini adalah gosip personal artinya ada satu atau beberapa orang menyampaikan gosip secara personal, dan secara terus menerus disampaikan ke orang berikutnya, mirip semacam bola salju atau snowball. Sekarang kebohongan tidak lagi dari mulut ke mulut. Dari media publik juga banyak melakukan kebohongan. Contohnya berita- berita bohong yang tidak ada data yang akurat dari media pers.

Sebuah penelitian di Amerika yang dilakukan oleh NIMH (National Institute of Mental Health) menunjukkan bahwa dalam seminggu, orang berbohong terhadap 30% orang lain dalam komunitas. Mahasiswa malah menunjukkan angka 38% jumlah orang yang mereka bohongi. Jadi kira-kira, dari 100 orang yang diajak berinteraksi dalam seminggu, maka ada 38 orang yang telah dibohongi.
Dari penelitan tersebut bisa kita lihat, hampir setengah dari 100 orang yang berinteraksi berbohong. Kita berpikir bahwa kita tidak memiliki jawaban yang cukup meyakinkan orang lain, sehingga akhirnya kita berbohong. Ini merupakan tanda bahwa kita tidak menghormati diri sendiri.

Berdasarkan sebuah studi yang digelar oleh University of East Anglia terhadap 15 negara di dunia pada tahun 2015,  dengan exsperimen pengundian dan koin dan tebak musik online. Negara-negara itu adalah Brasil, Cina, Yunani, Jepang, Rusia, Swiss, Turki, Amerika Serikat, Argentina, Denmark, Inggris, India, Portugal, Afrika Selatan, dan Korea Selatan. Didapati Benua Asia memiliki tingkat kebohongan yaitu Negara Cina dengan tingkat kebohongan 70%.

Dari studi inilah saya tergerak untuk membuat tulisan tentang kejujuran. Kita harus sadar bahwa perlunya sifat jujur dari dalam diri kita. Adakah seseorang yang tidak pernah berbohong selama hidupnya? Rasa-rasanya kita akan bersepakat dengan jawaban, tidak ada! Saya hampir yakin bahwa semua orang pernah berbohong, minimal sekali dalam hidupnya. Dan jujur saja, saya pernah berbohong. Tetapi, apakah kita tetap bertahan pada sifat tersebut? Tidakkah kita ingin berbenah diri untuk yang lebih baik.

Berprilaku jujur merupakan suatu proses untuk menjadi manusia yang lebih baik. Hukuman yang diterima dari suatu kesalahan merupakan sarana pembelajaran yang tepat untuk memperbaiki diri dan jalan keluar yang terbaik dari suatu masalah. Cercaan atau hinaan yang diterima dari orang lain jadikan motivasi untuk memunculkan potensi diri kita yang lain dan buktikan bahwa kita bukan seperti yang mereka kira. Oleh sebab itu budayakan bicara jujur sejak sekarang. 

Perlu anda ketahui, jangan percaya dengan tulisan ini. Mana tahu saya lagi berbohong.

0 komentar:

Posting Komentar