This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 07 Januari 2018

Ji'alah (Fiqih Muamalah)


FIQH MUAMALAH 2
JI’ALAH
OLEH

DINA RAHMAINI SYAM                          1513060046
GANTI PUTRA WARDANA                      1513060040
RONDAH MISKIAH TANJUNG               1513060059

DOSEN PENGAMPU
Dr. Rozalinda, M.Ag
JURUSAN EKONOMI ISLAM.D (EKONOMI PEMBANGUNAN)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) IMAM BONJOL PADANG

1438 H/2017 M









KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat  menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat dan salam tak lupa senantiasa kita sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita harapkan syafa’atnya di yaumulqiyamah nanti, amin.
Penyusunan makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Muamalah 2 .makalah ini berjudul “Jialah”, yang membahas tentang pengertian dan dasar hukum ji’alah, rukun dan syarat ji’alah, perbedaan ji’alah dengan ijarah, sifat ji’alah, berakhirnya aad ji’alah dan ji’alah dalam perbankan syariah.
   Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna,baik dalam hal penulisan maupun pokok bahasan yang kami jelaskan. Berkaitan dengan hal tersebut kami selaku penulis sangat mengharapkan saran, agar kedepannya kami bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan kami yang lalu.
Padang,   Oktober 2017


Penulis




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam menganjurkan kepada umatnya untuk tolong-menolong dengan sesamanya.
Akad ji’alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat hadiah atau upah. Secara harfiah ji’alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penilitian ini adalah sebagai berikut.
a.       Apa pengertian dan dasar hukum ji’alah?
b.      Apa saja rukun dan syarat ji’alah?
c.       Apa saja perbedaan antara ji’alah dan ijarah?
d.      Bagaimana sifat akad ji’alah?
e.       Bagaimana berakhirnya akad ji’alah?
f.       Bagaimana aplikasi ji’alah dalamperbankan syariah?

C.    TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.
a.       Menjelaskan apa yang dimaksud dengan ji’alah beserta dasar hukum yang menjelaskan terjadinya ji’alah.
b.      Menguraikan rukun dan syarat dari jialah.
c.       Menguraikan perbedaan antara ji’alah dengan ijarah.
d.      Menjelaskan sifat dari ji’alah.
e.       Menjelaskan berakhirnya akaad ji’alah.
f.       Menjelaskan pengaplikasian ji’alah dalam perbankan syariah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM JI’ALAH
Ji’alah atau ju’alah berasal dari kata ja’ala – yaj’lu – ja’lan. Secara harfiah bermakna mengadakan ataumenjadikan, sedangkan ju’alah  berarti upah.[1] Secara syara’ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq ji’alah adalah sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang di duga kuat dapat diperoleh.
Istilah ji’alah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fuqaha yaitu memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, ji’alah bukan hanya terbatas pada barang yang hilangnamun dapat setiap pekerjaan yang dapat menguntungkan seseorang.
Kata jialah dapat dibaca jaalah. Pada zaman rasulullah jialah telah dipraktikkan. Dalam shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis yang menceritakan tentang seorang badui yang disengat kala kemudian dijampi oleh seorang sahabat dengan upah bayaran beberapa ekor kambing.[2]
Menurut Mazhab Hanafi ji’aah tidak diperbolehkan karena di dalam ji’alah ada gharar atau tidak diketahuinya pekerjaan yang akan dilakukan dan waktu pekerjaannya. Hanya saja berdasarkan isthsan ji’alah dibolehkan, misalkan menjanjikan upah untuk mengembalikan budak yang melarikan diri. Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah membolehkan ji’alah berdasarkan QS Yusuf [12: 72]
 قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾   
“Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan Aku menjamin terhadapnya”.

            Masyarakat membutuhkan ji’alah sebb terkadang pekerjaan (untuk mencapai suatu tujuan) tidak jelas bentuk dan waktu pelaksanaannya, seperti mengembalikan budak yang hilang, hewan hilang dan sebagainya. Untuk pekerjaaan ini tidak sah dilakukan akad ijarah padahal seseorang membutuhkannya agar kedua barang yang hilang bisa kembali. Sementara itu, ia dapat menemukan orang yang mau membantu mengembalikannya sacara sukarela (tanpa imbalan). Oleh karena itu, adanya kebutuhan masyarakat dalam keadaan seperti itu mendrong agar akad ji’alah dibolehkan sekalipun bentuk dan masa pelaksanaan pekerjaan tersebut tidak jelas.
            Dari pengertian ini, dalam  ji’alah terdapat unsur-unsur:
a.       Pekerjaan khusus, misalnya mencari barang yang hilang, atau menyembuhkan penyakit. Biasanya pekerjaan yang akan dilakukan merupakan pekerjaan yang sulit bagi orang-orang yang membuat pengumuman. Hal inilah yang membedakan antara ji’alah (sayembara) dengan musaqah (perlombaan) atau dengan undian.
b.      Upah terhadap orang yang berhasil melakukan pekerjaan. Apakah hadiah itu berbentuk materiil atau imateriil, seperti diangkat menjadi saudara.
Ji’alah dibolehkan dalam islam berdasarkan QS Yusuf [12: 72]
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَن جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ ﴿٧٢﴾
Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya." 
Dalam hadis Nabi dijelaskan: Dari Ibn Abas, Rasulullah Saw, bersabda: “Sesungguhnya perkara yang paling berhak mendapatkan upah adalah mengajarkan membaca Al-Qura’an”.
Para ulama sepakat tentang kebolehan ji’alah, karena memang diperlukan untuk mengembalikan hewan yang hilang, atau pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dan tidak ada orang yang bisa membantu secara sukarela. Pekerjaan itu tidak dapat dilakukan dengan akad ijarah karena tidak jelas batas pekerjaan waktu dan sebagainya sehingga yang boleh dilakukan dengan memberinya ja’alah seperti akad sewa dan bagi hasil.[3]

B.     RUKUN DAN SYARAT JI’ALAH
Ji’alah merupakan akad antara dua orang atau lebih agar orang yang menerima ji’alah melakukan pekerjaan khusus seperti menyembuhkan orang yang sakit atau menemukan barang yang hilang. Ji’alah dibolehkan karena dibutuhkan. Ji’alah menjadi sah kalau terpenuhi rukun dan syaratnya sebagai berikut:
a.       Ja’il (pihak yang berjanji akan memberikan imbalan), harus ahliyah atau cakap bertindak hukum, yakni baligh, berakal dan cerdas. Dengan demikian anak-anak, orang gila dan orang yang berada dalam pengampuan tidak sah melakukan ju’alah. Sementara itu, orang yang melakukan pekerjaan jika ia ditentukan maka ia harus orang yang cakap melakkan pekerjaan tersebut dan mendengar jiala boleh melakukannya.
b.      Ju’lah (upah)
Upah dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, upah yang dijanjikan harus berupa sesuatu yang bernilai harta dan dalam jumlah yang jelas. Jika upah berbentuk barang haram seperti minuman keras maka jialah tersebut batal.
Kedua, bayaran itu harus diketahui dan harus ada pengetahuan tentangnya, misalnya “siapa yang mengembalikan hartaku atau hewanku yang hilang maka dia mendapat pahala, atau ridha, akad seperti ini tidak sah.
Ketiga, upah yang bleh disyaratkan diberikan di muka (sebelum pelaksaan ju’alah).
c.       ‘Amal (pekerjaan)
Pekerjaan dalam ja’alah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, pekerjaan yang diharapkan hasilnya itu harus mengandung manfaat yang jelas dan boleh dimanfaatkan menurut syara’. Ji’alah tidak diperolehkan terhadap pekerjaan dalam bentuk mengeluarkan jin dari diri seseorang atau membebaskan dari sihir. Karena keluar atau bebas dari sihir tdak dapat diketahui secara jelas. Oleh karena itu, ji’alah tidak boleh terhadap sesuatu yang diharamkan.
Kedua, Mazhab Maliki mensyaratkan, ju’alah tidak boleh dibatasi dengan waku tertentu, seperti mengembalikan (menemukan) orang yang hilang dalam satu hari.
Ketiga, Mazhab Malikyiah menyatakan baha pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang mudah dilakukan meskipun dilakukan berulang kali seperti mengembalikan binatang ternak yang lepas dalam jumlah yang banyak.
Keempat, pekerjaan yang ditawarkan secara hukum bukan pekerjaan yang wajib bagi pekerja, jika ia wajib secara syar’i maka dia tidak berhak mendapat upah, misalnya seseorang mengatakan “siapa yang mengembalikan hartaku yang hilang maka ia mendapat begini, kemudian dikembalikan oleh orang yang merampasnya maka orang tersebut tidak berhak mendapat upah yang telah disebutkan, sebab sesuatu yang wajib dilakukan secara syar’i tidak ada upah baginya.
d.      Shighat (ucapan)
Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji’alah sedangkan dari pihak pekerja tidak disyratkan ada ucapan kabul darinya dan ji’alah tidak batal seandainya dia menjawab, misalnya ia berkata: saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran satu dinar. Kemudian, pemberi ja’alah berkata ya maka itu sudah dianggap cukup. Ijab harus disampaikan dengan jelas oleh pihak yang menjanjikan upah walaupun tanpa ucapa kabul dari pihak yang melaksanakan pekerjaan. Lafaz, diisyaratkan mengandung izin untuk melakukan pekerjaan kepada setiap orang yang mampu, dan tidak dibatasi waktunya.
Termasuk dalam syarat ini beberapa gambaran di antara yang paling penting:
1)      Jika pemberi ji’alah mengizinkan seseorang lalu yang bekerja orang lain, maka orang itu tidak berhak mendapatkan sesuatu walaupun dia dikenali sebagai orang yang memiliki keahlian dengan pekerjaan tersebut.
2)      Jika pemberi ji’alah berkata: “siapa yang bisa mengembalikan untaku atau mobilku, maka dia mendapat satu dinar” lalu dikembalikan oleh orang yang tidak mendengar panggilan tersebut, dia tidak berhak mendapat ji’alah sebab dia rela mengmbalikan tanpa ada upah.[4]

C.    PERBEDAAN ANTARA JI’ALAH DAN IJARAH
Pada dasarnya ji’alah sama dengan sewa namun ada perbedaan dalam beberapa aspek antara lain:
a.       Pemenuhan manfaat ji’alah tidak dapat disempurnakan oleh jail kecuali dengan selesainya pekerjaan seperti menemukan barang yan hilang. Berbeda dengan ijarah, kesemprnaan pemenuhan manfaat bagi musta’jir berdasarkan pada apa yang dikerjakan oleh ajir.
b.      Ji’alah sah walaupun mengandung ketidakjelasan (gharar) pekerjaannya dan batas waktunya tidak jelas. Berbeda dengan ijarah, pekerjaan dan batas waktunya harus jelas.
c.       Pada ji’alah tidak boleh mensyaratkan upah dibayar di muka, sedangkan pada akad ijarah hal itu dibolehkan.
d.      Ji’alah bersifat ghairu lzim (tidak mengikat) yang dibatlkan sepihak, sedangkan ijarah bersifat lazim (mengikat) tidak dapat dibatalkan sepihak.
e.       Penerima ji’alah tergantung dengan keberhasilan dalam pekerjaan.
f.       Akad ji’alah tetap sah walaupun pekerjaan tidak mau menerima ji’alahnya.[5]

D.    SIFAT AKAD JI’ALAH
Ji’alah merupakan suatu akad yang dibolehkan dan bersifat ghairu lazim (tidak mengikat). Artinya kedua orang yang berakad boleh membatalkan akad ini sebelum pekerjaan dimulai. Orang yang menerima ji’alah boleh membatalkan akas sebelum atau ketika pekerjaan sedang berlangsung. Dengan pembatalan ini semua haknya mendapat upah menjadi hilang.
Namun, orang yang mnji’alahkan (pelaksanaan sayembara) tidak punya hak untuk membatalkna ji’alah bila orang ang menerima ji’alah telah melakukan pekerjaan. Kalau masih dibatalkan maka orang yang menerima ji’alah masih tetap mempunyai hak mendapatkan upah dari apa yang dikerjakan. Orang yang membuat ji’alah harus menepati janjinya berupa memberikan upah kepada orang yang berhasil melakukan pekerjaan tersebut.[6]

E.     BERAKHIRNYA AKAD JI’ALAH
Ulama mahzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali memandang akad ji’alah sebagai perbuatan yang sifatnya sukarela. Menurut mereka baik pihk pertama (jail) maupun pihak kedua (yang melaksanakan pekerjaan) dapat membatalakan akad. Namun mereka berbeda pendapat tentang kapan bolehnya melakukan pembatalan akad tersebut. Mazhab Maliki berpendapat bahwa ji’alah hanya dapat dibatlakan oleh pihak pertma sebelum pihak kedua melaksanakan pekerjaan. Semntara itu, mazhab Syafi”i dan Hanbali berpendapat, pembatalan itu dapat dilakukan oleh salah satu pihak setiap waktu selama pekerjaan itu belum selesai. Apabila salah satu pihak membatalkan ji’alah sebelum pekerjaan dilaksankan, maka keadaan ini tidakmemunculkan keadaan hukum. Artinya, pihak kedua tidak berhak terhadap upah yang dijanjikan karena pekerjaan yang belum dilaksanakan.
Apabila pihak pertama membatalkan ji’alah ketika pekerjaan sedang berlangsung menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, pihak pertama wajib membayar upah kepada pihak kedua, sesuai dengan volume dan masa kerja yang telah dilaksanakannya.[7]

F.     JI’ALAH DALAM PERBANKAN SYARIAH
Aplikasinya  ialah  pada  SBIS (sertifikat Bank  Indonesia Syariah). Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)(“PBI 10/11/2008”).SBIS adalah adalah surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia (Pasal 1 angka 4 PBI 10/11/2008). SBIS yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan akad Ji’alah (Akad ji’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan tertentu (’iwadh/ju’l) atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan).[8]
Dalam rangka pelaksanaan pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dan mengatasi kelebihan likuiditas bank syariah, Bank Indonesia menerbitkan instrumen yang sesuai dengan syariah yaitu Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah). Sebelumnya instrumen moneter seperti ini adalah Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI). Namun instrumen ini diandang belum bisa mengakomodasi kebutuhan pelaku industri perbankan syariah untuk pengelolaan likuiditas dan pengendalian moneter secara optimal.
Penerbitan instrumen moneter berdasarkan akad ju’alah dipandang lebih dapat mengoptimalkan pengendalian moneter dan pengelolaan likuiditas perbankan syariah. Sebagai pedoman pelaksanaan penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syari’ah Ju’alah (SBIS Ju’alah) ini Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa DSN MUI No. 64/DSN-MUI/XII/2007 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah).
Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); bank syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying ju’alah (mahall al-aqdu) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
a.       Bank Indonesia wajib memberikan imbalan (reward/’iwadh/jul’u) yang telah dijanjikan kepada bank syariah yang telah membantu Bank Indonesia dalam uaya pengendalian moneter dengan cara menempatkan dan di Bank Indonesia dalam jangka waktu tertentu, melalui “pembelian” SBIS Ju’alah.
b.      Dana Bank Syariah yang ditempatkan di Bank Indonesia melalui SBIS adalah wadi’ah amanah khusus yang ditempatkan dalam rekening SBIS Ju’alah, yaitu titipan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan atau ketetntuan Bank Indoesia, dan tidak dipergunakan oleh Bank Indonesia selaku penerima titipan, serta tidak boleh ditarik oleh bank syariah sebelum jatuh tempo.
c.       Dalam hal Bank Syariah selaku pihak penitip dan (mudi’) memerlukan likuiditas sebelum jatuh tempo, ia dapat merepokan SBIS Ju’alahnya dan Bank Indonesia dapatmengenakan denda (gharamah) dalam jumlah tertentu sebagai ta’zir.
d.      Bank Indonesia berkewajiban mengembalikan dana SBIS Ju’alah kepada pemegangnya pada saat jatuh tempo.
e.       Bank Syariah hanya boleh/dapat menempatkan kelebihan likuiditasnya pada SBIS Ju’alah sepanjang belum dapat menyalurkan ke sektor riil/
f.       SBIS Ju’alah merupakan instrumen moneter yang tidak dapat diperjualbelikan (non tradeable) atau dipindahtangankan, dan bukan merupakan bagian dari portofolio investasi bank syariah.
Ju’alah dapat juga digunakan dalam perjanjian brokerage. Khusus bagi perbankan, ju’alah dapat juga digunakan untuk perusahaan penagih utang atau dept collector untuk menagih piutang bank yang macet.[9]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ji’alah diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu,  atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan berdasarkan landasan hukum tentang ji’alah, maka ji’alah hukumnya yaitu mubah atau dengan kata lain boleh dilakukan akan tetapi dengan syarat-syarat tertentu juga yang telah di tentukan ilmu fiqih yang diajarkan dalam agama islam.

B.     SARAN
Semoga dengan adanya makalah ini, bisa membanttu siapapun yang membacanya dan terutama penuli


[1] Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2016), hlm.149.
[2] Abdul Rahman Ghaaly dan Ghurfon Ihsan dan Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Prenada Media Group, 2012), hlm.141.
[3] Rozalinda, op. cit, hlm. 150-152.
[4] Ibid, hlm.152-155.
[5] Ibid, hlm.155.
[6] Ibid, hlm.155-156.
[7] Ibid, hlm.156.
[8] Muhibatul Alami, “ji’alah” Aviation Today, diakses dari https://muhibbatulalami96.blogspot.co.id/2016/01/makalah-tafsir-ahkam-muamalah-jialah.html, pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.15
[9] Rozalinda, op. cit, hlm. 156-158.